background

Monday, April 11, 2011

Lanskap Sejarah Pulo Geulis dan Klenteng Tertua di Kota Bogor

Pulo Geulis adalah nama sebuah pulau kecil yang terletak di tengah Sungai Ciliwung, kota Bogor, tepatnya di sebelah selatan Kebun Raya Bogor. Pulau ini terletak di Kelurahan Babakan Pasar, Kecamatan Bogor Tengah. Pada dasarnya Pulo Geulis merupakan suatu kawasan yang terbentuk akibat aliran Sungai Ciliwung yang terbelah dan kemudian menyatu kembali tepat sebelum area Kebun Raya Bogor hingga tercipta bentukan seperti pulau. Pulo Geulis dalam bahasa Sunda memiliki arti pulau yang cantik. Dahulu, dikenal sebagai Pulau Parakan Baranangsiang yang berasal dari kata marak yang  berarti mengambil ikan tanpa parak. Namun ada pula yang menyebutnya Rawa Bangke karena sungai yang mengelilingi daerah ini terdiri dari banyak sampah yang bercampur bangkai. Hingga muncullah kisah tentang  wanita simpanan orang-orang Emrat yang terkenal geulis (cantik) itu. Emrat adalah komplek pegawai Kebun Raya yang bekerja sebagai penyiram tanaman. 

 Sungai Ciliwung
 Jembatan sebagai akses menuju Pulo Geulis

 Ditemani warga sekitar menuju lokasi Pulo Geulis

Pulo Geulis pada awalnya adalah sebuah area hutan atau daerah hijau yang belum banyak berdiri pemukiman yang kemudian digunakan sebagai tempat peristirahatan raja dari kerajaan Pakuan Pajajaran. Pada saat itu pula ditemukan pelataran yang di dalamnya berdiri sebuah klenteng. Klenteng ini terletak di tengah Pulo Geulis yang bernama Vihara Maha Brahma. Bangunan ini diperkirakan dibangun pada tahun 1720an atau pada sekitar abad ke 18 dan diyakini sebagai kleteng tertua yang ada di kota Bogor. Hal ini dikarenakan ketika Pulo Geulis ditemukan, klenteng ini sudah ada di kawasan tersebut. Klenteng-klenteng lain di Kota Bogor memiliki tanggal dan tahun yang jelas saat dibangun, menunjukkan adanya persebaran orang Cina di daerah tersebut.

Pada awalnya bangunan klenteng ini memiliki ukuran yang kecil, sedangkan lapangan yang mengelilinginya berukuran besar. Meskipun kecil dan kurang terpelihara, Vihara Maha Brahma ini merupakan rumah ibadah yang dianggap penting  dan selalu disertakan pada upacara perayaan Imlek di kota Bogor. Sangat disayangkan pada tahun 1984, klenteng ini dibangun total sehingga tidak lagi termasuk ke dalam benda cagar budaya. Peninggalan benda purbakalanya pun banyak yang hilang. Pembangunannya telah mengeluarkan banyak biaya dan kini kepengurusan klenteng berada pada Yayasan Danagun. Adapun perawatan klenteng dilakukan setiap bulan Maulid atau 1 minggu sebelum Imlek berupa kegiatan penggantian pakaian, kemudian tanggal 1 dan 15 beradasarkan kalender Cina, diadakan kebaktian.  

Vihara Maha Brahma

 Halaman depan vihara

Ruangan di dalam vihara, mulai terlihat nilai pluralisme

 Batu Petilasan

 Wawancara dengan narasumber

Pada tahun 1923, dibangunlah sebuah jembatan oleh masyarakat Belanda pada kawasan ini. Sejak saat itu, mulailah banyak orang yang berdatangan untuk bermukim hingga pada akhirnya, Pulo Geulis menjadi  sebuah kawasan padat penduduk. Area ini memliki luas sekitar 3.5 hektar, dihuni oleh kurang lebih 200 kepala keluarga dengan jumlah sekitar 2,500 jiwa. Dengan kata lain, kepadatannya telah mencapai sekitar 700 jiwa per-hektar. Secara administratif Pulo Geulis mencakup satu rukun warga (RW) dan lima rukun tetangga (RT) yang berada di kelurahan Babakan Pasar, Kecamatan Bogor Tengah. Penduduk Pulo Geulis kebanyakan berasal dari suku Sunda dan Tionghoa. Namun, menurut penduduk setempat, warga yang berasal dari suku Tionghoa saat ini hanya tinggal sekitar 30-% nya saja dari jumlah penduduk yang ada. Kebanyakan penduduknya bermatapencaharian sebagai pedagang, karyawan Bogor-Jakarta, pedagang yang juga berada di terminal, sopir, dan buruh.

Hingga saat ini, telah banyak perubahan yang terjadi di Pulo Geulis, mulai dari segi keaslian budayanya yang sudah mulai berkurang, serta aspek sejarah fisiknya yang hanya terdiri dari bangunan tua klenteng saja. Akan tetapi, situs ini harus tetap dilestarikan karena merupakan bangunan yang bersejarah dan sangat dijaga oleh umat yang beribadat di klenteng ini. Selain itu, terdapat hal menarik dari segi budaya di dalam klenteng ini, yaitu sikap toleransi atau nilai pluralisme warga sekitar klenteng yang sama-sama menjaga bangunan tersebut. Tidak hanya warga yang beragama Budha saja yang masuk dan beribadah di dalam klenteng tersebut, namun terdapat juga warga yang beragama muslim, kristiani, dan lain-lain pun masuk serta beribadah atau berziarah ke klenteng. Bahkan, ada peziarah muslim yang sengaja datang dari Karawang, Bekasi, Cianjur, dan Tangerang. Meskipun terkesan berlebihan atau di luar ketentuan kegiatan keagamaan masing-masing masyarakat, hal tersebut tentu kembali lagi pada kepercayaan dan kesadaran diri para penganut agama terhadap apa yang mereka sembah. Peran pemerintah sendiri terhadap klenteng ini tidak berupa materi, melainkan hanya sebatas moril. Akan tetapi di lain pihak, kuil yang terdapat di Jalan Surya Kencana termasuk Wihara Mahabrahma  ini lebih memperoleh perhatian dari lembaga sosial atau yayasan.

Perubahan yang sangat terlihat jelas saat ini adalah mengenai permasalahan lingkungan. Lingkungan yang semakin padat dan penduduk yang terus meningkat tampak jelas pada kawasan ini. Kondisi perumahan kian padat, hingga hampir pada setiap rumah tidak lagi dapat dijumpai ruang untuk tumbuhnya tanaman. Ruang terbuka hijau sudah sangat minim untuk dapat memenuhi suatu syarat wilayah yang berada di pinggiran sungai. Tercatat banjir besar pernah terjadi pada tahun 1967, 1972, dan 1980, sedangkan longsor terjadi setiap 5 tahun (2002, 2007). Warga sekitar mengandalkan Bendungan Katulampa yang dibangun pada tahun 1889 untuk melihat kenaikan permukaan air dalam memperkirakan kemungkinan terjadinya banjir. Namun, peningkatan dalam hal pendidikan, jika 10 tahun lalu warganya masih lulusan SD, saat ini sudah ada yang sarjana yang 70% merupakan penduduk pendatang.

 Pekarangan warga yang masih memperhatikan RTH

 Sungai digunakan untuk mencuci dan mandi

Salah satu bagian ujung Pulo Geulis
 
Seekor kucing terlihat santai di siang hari yang terik

Writer : Amalia Gina Pertiwi, edited by Widyastuti Utami
All photos were taken with Panasonic DMC-LX3 digital camera by Amalia Gina Pertiwi on November 28th, 2010







1 comment:

Cute Line Smiley Cute Line Smiley Cute Line Smiley